Kastorius Sinaga Tokoh Batak Toba (Bagian XII)
| Follow twitter saya disini
Dugaan bahwa polisi tidak serius karena dianggap memiliki hidden agenda di balik aksi dan keberadaan FPI sirna sudah. Seperti kita ketahui, polisi memang benar-benar melakukan penegakan hukum secara proporsional. Bahkan operasi gabungan tersebut tidak menimbulkan ekses kekerasan baru di lapangan seperti diperkirakan banyak pihak sebelumnya.
Satu agenda yang tersisa dari rangkaian peristiwa tersebut adalah risalah pembubaran FPI selaku ormas yang dipandang meresahkan masyarakat. Bagaimana seluk beluk keberadaan ormas di era reformasi saat ini ?
Organisasi massa adalah wahana wajar dan halal dari masyarakat untuk berhimpun dan mengorganisasikan dirinya sendiri (self-governing) dalam rangka mencapai tujuan yang dirumuskan oleh para pendiri dan anggotanya.
Di alam demokrasi, hampir setiap individu/kelompok terpaut dengan keberadaan ormas/LSM, entah itu dalam bentuk organisasi profesi, hobi, politik, keagamaan, kekerabatan, atau bahkan kepedulian sosial.
Kultur dan cakupan demokrasi akan mencapai bentuknya yang paling ideal bila keberadaan ormas/LSM cukup mengakar dan berkembang sehat di masyarakat. Ormas/LSM secara langsung turut menjalankan fungsi mediasi, artikulasi, pendidikan dan komunikasi politik tanpa mengejar keuntungan (nirlaba) ataupun terjebak pada arus politik praktis. Secara sosiologis, ormas/LSM menjadi sektor ketiga (third sector) yang bermanfaat bagi individu/kelompok masyarakat di dalam mengembangkan diri dan potensinya, di samping dua sektor konvensional lainnya, yaitu birokrasi negara dan sektor (perusahaan) swasta.
Hampir semua ormas eksis di dalam ruang publik (public sphere). Bahkan ormas mendapat legitimasi untuk melakukan mobilisasi sumberdaya dari publik itu sendiri, seperti keuangan, kelembagaan, maupun massa keanggotaan. Karenanya, interaksi antara ormas dan publik (baca: kepentingan publik) menjadi sebuah titik krusial di dalam penyelenggaraan kegiatan.
Kita juga melihat bahwa rezim Orde Baru tumbang di tahun 1998, sebagian besar atas jasa perjuangan sebagian ormas/LSM yang “pro-reformasi” yang tidak kenal lelah dan takut memperjuangkan kebebasan politik dari sistem penetrasi negara. Tahun 1985, almarhum Presiden Suharto telah mengantisipasi sepak-terjang para ormas pro-demokrasi ini dan lalu mengeluarkan UU no. 8/1985 tentang Pembinaan Ormas/LSM. Namun, seperti kita ketahui, UU ini lebih eksis di atas kertas dan hanya efektif mengatur, membina, dan mengendalikan ormas/LSM yang berinduk-semang pada politik pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri pada saat itu.
Datangnya era reformasi telah membawa euforia demokrasi yang merangsang pertumbuhan ormas/LSM “bak jamur di musim hujan”. Bentuk deprivatif ormas/LSM bermunculan setiap hari dengan tonasi atribut pengerahan massa seperti istilah Front, Aksi, Aliansi, Forum atau Laskar Komando –semuanya lengkap dengan atribut fisik dan modus gerakan yang menyeramkan.
Sebagian dari mereka memakai agama sebagai basis kohesitas di samping banyak juga menggunakan sentimen kedaerahan sebagai tameng gerakan. Lemahnya kemampuan birokrasi negara, vakumnya ruang publik akibat kepemimpinan yang tidak solid, serta meretasnya “nilai-nilai kebersamaan” membuat ormas/LSM menjadi lahan baru yang menggairahkan para petualang politik untuk bermanuver dan meraup rente ekonomi dari situasi instabilitas transisi politik kita.
Dalam konteks demikian, kita menyaksikan bahwa keberadaan sebagian ormas/LSM menjadi “antagonis” dan “asimetris” terhadap kepentingan publik yang sesungguhnya. Bukan hanya kenyamanan dan keamanan publik yang terganggu. Tetapi juga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam makna public sphere, seperti toleransi, solidaritas, dialog, akal-sehat dan pluralisme turut terancam oleh hiruk-pikuk gerakan liar ormas/LSM di hampir semua bidang dan wilayah Indonesia. Insiden Monas kemarin adalah satu contoh dari situasi liar tak terkendali dari ormas/LSM yang memang sudah seringkali berulang di berbagai daerah.
Di titik inilah kita menjadi sadar bahwa di balik tuntutan pembubaran FPI, hal yang sangat urgen dilakukan adalah penataan kembali regulasi terhadap ormas/LSM di Indonesia.
UU Ormas no 8/1985, tampaknya, sudah tidak relevan dengan kondisi faktual kehidupan sosial dan politik kita di tahun 2008 ini dan ke depan. Karenanya, pesan inti dari insiden Monas kemarin adalah kesigapan dan kesiapan dari Pemerintah serta DPR selaku pemangku otoritas legislasi nasional untuk mengadakan revisi total terhadap UU 5/1985 sehingga kita memiliki regulasi tentang ormas/LSM yang secara efektif dapat mengembangkan ormas/LSM yang sehat dan beradab. ***
Penulis adalah Dosen Pascasarjana UI
Si Abang, Riwayatmu Kini (2)
Dr. Kartorius Sinaga
ADNAN Buyung Nasution kembali menjadi sumber berita sekaligus pergunjingan di kalangan aktivitas prodemokrasi. Tokoh flamboyan yang selama dua dekade terakhir ibarat setali tiga uang dengan perjuangan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di tanah air, kali ini mendapat sorotan sumir atas predikatnya sebagai pendekar demokrasi.
Pasalnya, Buyung–yang sejak “pensiun” dari Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendirikan kantor pengacara komersial–sebagai kuasa hukum PT IPTN, sedang mengangkat kapak peperangan melawan The Jakarta Post, sebuah koran nasional berbahasa Inggris. Seperti diketahui, koran tersebut sedang nahas akibat human error wartawannya dalam melaporkan peristiwa jatuhnya CN 235 di Serpong, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Meskipun ralat berita dan permintaan maaf telah dilansir oleh koran itu pada hari berikutnya, dan oleh banyak ahli komunikasi seperti Prof. A. Muis, sebenarnya sudah cukup memadai untuk menjernihkan situasi sebagaimana bunyi pasal 11 Kode Etik Jurnalis Indonesia, Buyung tetap berkeras, atas kuasa hukumnya, B.J. Habibie selaku Direktur Utama IPTN, mengambil langkah-langkah legal action.
Bahkan, somasi berikut prasyarat-prasyarat penyelesaian masalah dengan The Jakarta Post sudah resmi dilayangkan. Malah, tak tanggung-tanggung, somasi itu kemudian dirilis ke publik, sebuah langkah unik yang jarang dilakukan dalam penanganan perkara hukum.
Masyarakat umum pun bertanya-tanya tentang gejala contradiction-in-habitus yang menghinggapi pribadi Buyung yang populer dipanggil “Abang” itu. Yaitu, mengapa si Abang, pendekar demokrasi dan pembela kebebasan pers, yang pada tahun 1994 dengan galak memimpin demonstrasi pembredelan Tempo, Editor dan Detik, sekarang berada “di seberang” dan berkukuh mengadili pers nasional yang selama ini terkesan powerless itu?
Entah secara kebetulan atau tidak, yang juga menarik adalah soal sifat hubungan Buyung-Habibie yang sekalipun asimetris, namun saling menyambung dengan konteks kejadian. Tahun 1994, Buyung berhadapan melawan B.J. Habibie yang sewaktu itu bertanggung-jawab atas pembelian 31 kapal perang eks Jerman Timur, kasus yang kemudian kita ketahui turut menjerat TEMPO ke liang kubur. Lalu tahun ini, Buyung berada di kubu Habibie berhadapan melawan pers, dalam hal ini The Jakarta Post.
Lalu, di awal tahun 1990-an, Buyung turut menjadi “konsultan hukum” dari LSM prodemokrasi yang menggugat Habibie ke pengadilan karena pemakaian dana penghijauan hutan tropis untuk keperluan IPTN. Hal ini dianggap dapat memanipulasi penggunaan uang rakyat untuk proyek elite IPTN. Lantas, tahun ini Buyung menjadi kuasa hukum IPTN yang hendak menggugat Jakarta Post karena pemberitaan jatuhnya CN 235.
Agak mirip ketika orang meributkan manuver politik Gus Dur yang “berbulan madu politik” dengan Mbak Tutut, dalam konteks yang berbeda, giliran “bulan madu” Buyung dan Habibie menjadi teka-teki politik. Situasi tersebut bahkan membuat masalah inti berupa human error yang menimpa The Jakarta Post dan keberatan Habibie atas kesalahan jurnalis itu menjadi relatif dan kurang menarik dibanding gejala perubahan karakter politik dari seorang Adnan Buyung Nasution.
Pasang surut gelombang gerakan prodemokrasi di Indonesia sangat erat berhubungan dengan pasang surut penokohan aktor intelektual di belakangnya. Itu berbeda dengan gerakan demokrasi di negara lain, seperti Thailand, Filipina dan bahkan Burma.
Di tiga negara itu, gerakan prodemokrasi lebih bertumpu pada aliansi kekuatan yang secara populer berbasis di masyarakat bawah untuk melawan totalitarisme sistem kekuasaan. Di Indonesia, gerakan itu lebih banyak muncul sebagai intelectual excercise dari beberapa tokoh kelas menengah — yang kebetulan menempati posisi pinggiran atau bahkan di luar sistem.
Karenanya, “kepemimpinan”, “organisasi” dan bahkan “personifikasi” menjadi sangat sentral dalam ritus perjuangan demokratisasi di negara ini.
Gerakan demokratisasi di Indonesia terkesan telah menjadi “proyek” dari segelintir “tokoh masyarakat” berasal dari kelas menengah perkotaan agar tetap dapat eksis di tataran opini publik. Sehubungan dengan itu, lembaga yang menggerakkannya juga menjadi terkesan sekadar melayani selera dan personal interest para public figure pejuang demokrasi itu.
Akibatnya, lembaga tersebut menjadi tertutup, kurang demokratis, dan bahkan lebih tampak sebagai “milik” individual/kelompok daripada menjadi muara aliansi kekuatan arus bawah alias “lokomotif demokrasi”. Situasi seperti itu pulalah yang mewarnai kemelut YLBHI di tahun lalu, dan yang kemudian kita ketahui melahirkan keretakan internal serta disintegrasi para pengurusnya, yang sebenarnya tidak lain adalah juga kader-kader Buyung sendiri.
Dengan konteks situasi demikian, kekuatan figur Buyung sebagai pemimpin gerakan prodemokrasi, sebenarnya, bukanlah berdiri tegak di atas massa. Dalam pandangan masyarakat awam, memang terkesan seolah-olah ia menaruh loyalitas terhadap masyarakat. Sebenarnya, kekuatan itu hanya eksis di tataran “simbol” yang tidak lain adalah hasil pemberitaan pers yang menokohkan Buyung demi tegaknya pilar demokratisasi.
Maka, Buyung dan massa aktivis prodemokrasi menjadi ibarat dua kutub magnet yang sebenarnya saling menolak. Soalnya, karakter keduanya menjadi sangat kontras: yang satu bersifat flamboyan dengan gaya hidup metropolis yang “pragmatis”, sementara itu, yang lain adalah massa aktivis yang “populis” dan terkesan “ultraidealis”.
Maka, tak mengherankan bila aktivis muda seperti Nuku Suleman dan Tri Agus Susanto, tokoh aktivis Pijar, dari balik penjara berkali-kali memaki-maki kedekatan Buyung dengan kekuasaan sebagai bentuk pengkhianatan atas perjuangan. Kedudukan Buyung sebagai kuasa hukum IPTN dan sejumlah perusahaan industri strategis yang dikelola Habibie juga telah dilihat sebagai bagian dari bertolakbelakangnya Buyung dan aktivis prodemokrasi.
Kiranya, lewat kasus The Jakarta Post, Adnan Buyung Nasution hendak memberi pesan bahwa orang bisa berubah, sedangkan “kepentingan” itu abadi.
Hari : Minggu, 02 September 2012, Kategori : Batak Toba, Tokoh Batak Toba
Gerakan kta blm ada berbasis ideologi ,kita blm pernah berdemokrasi kata pramoedya a toer kita msh demokrasi panutan
BalasHapusMasih perlu waktu membangun kesadaran ,wawasan kebangsaan yang terdoktrin objektif dgn kesadaran akan arti kebangsaan ,tapi proses akan berjalan apalagi sudah hadir tokoh seperti jokowi ahok
BalasHapus